JENIS perkawinan satu ini
cukup sederhana: Saya nikahi saudara perempuanmu dan kamu menikahi
saudara perempuanku. Tidak perlu ada mahar. Tapi jika satu perkawinan
menemui kegagalan, yang lainnya mesti ambruk pula.
Perkawinan seperti itu
disebut Sheghar (Asy-syghar) atau perkawinan tukar-menukar. Jenis
perkawinan ini merupakan tradisi yang dipraktikkan secara luas di negara
miskin Yaman. Selain ikatan perkawinan antara dua orang, cara tersebut
menghubungkan calon dua keluarga dalam sebuah aturan yang berpotensi
bubar atau resep malapetaka.
Di sebuah negara yang masih ada tradisi perkawinan anak-anak, perkawinan imbal balik itu juga meluas, khususnya di daerah pedalaman negara Semenanjung Arab tersebut, kendati kerap terjadi berbagai akibat destruktif dari praktik itu.
Para ulama Muslim telah memutuskan bahwa perkawinan Sheghar adalah tidak Islami, namun banyak orang dalam masyarakat konservatif Yaman beranggapan cara tersebut merekat hubungan keluarga, dan menjaga warisan tetap ada dalam keluarga karena kebanyakan perkawinan demikian terjadi antara sanak keluarga.
Penyesalan
Ahmed Abdullah, 70, menggambarkan perkawinan barter tersebut sebagai "perkawinan penyesalan" saat dia menuturkan cerita pilu putranya yang tidak kuasa mengatasi dampak kehilangan istrinya karena perceraian saudara perempuannya.
"Saya setuju dengan sahabat karib saya untuk mengatur suatu perkawinan bagi dua putra kami dengan cara ini ... Setelah dua tahun, putri saya dan suaminya ternyata tidak dapat akur," sehingga membuatnya kembali ke kediaman orangtuanya, ujar Abdullah.
"Begitu dia pulang, istri putra saya meninggalkan rumah putra saya. Yang jadi problema adalah putra saya itu betul-betul menyintai istrinya," ungkap pria tadi, yang menambahkan bahwa pada akhirnya kedua pasangan itu dipaksa bercerai.
"Putra saya kehilangan pikirannya dikarenakan tekanan kami padanya agar menceraikan istrinya," papar Abdullah.
Salah satu alasan yang menyebabkan luasnya perkawinan imbal balik itu di daerah pedesaan adalah kurangnya pendidikan bagi wanita yang masih terlalu lemah untuk menolak kemauan keluarga mereka yang umumnya didominasi pria.
Sebagian besar wanita di Yaman tidak punya opsi membangkang keluarga karena sikap itu bisa dianggap sebagai menantang seluruh klan, yang jauh lebih peduli untuk menjaga kehormatannya daripada kehidupan seorang wanita yang berada di ambang kehilangan keluarganya.
Contoh lain perkawinan tadi adalah Ali dan Nasser yang saling menikahi adik perempuan mereka. Setelah beberapa tahun, Ali menceraikan istrinya. Tapi ketika adik perempuannya menolak meninggalkan Nassser, keluarga dan para sepupunya menyerbu rumah wanita itu dan memaksa Nasser menceraikannya.
Balas
Pertikaian itu memicu bentrokan bersenjata antara kedua keluarga yang berakibat kematian saudara ipar Nasser.
"Balas dendam belum selesai antara kedua keluarga itu," ucap Saeed al-Waeli, seorang famili korban. Perkawinan sheghar tak cocok bagi orang miskin dan tuna aksara di Yaman. Sarjana-sarjana juga bisa terlibat di dalamnya.
Mohammed Saeed, 35, yang menyandang gelar sarjana, mengatakan bahwa walaupun dia sadar betul dengan berbagai bahaya dari perkawinan imbal balik itu, dirinya dipaksa memasuki sebuah perkawinan demikian oleh keluarganya agar kakak perempuannya dapat berumahtangga.
"Orangtua saya menyadari bahwa mereka dapat menembak dua ekor burung dengan satu peluru," tutur Saeed.
"Saya menderita bermacam problema tak kunjung akhir selama tujuh tahun, dan begitu juga kakak saya. Ketika saya tak kuasa lagi untuk menahankannya, saya menceraikan istri saya. Dia membawa putra dan putri saya. Saya sudah tak melihat mereka dalam empat tahun ini," ucapnya.
"Kakak saya juga kembali ke rumah orangtua bersama tiga anaknya," imbuh Saeed. Praktik perkawinan itu disorot sosiolog Amani Maysari yang berpendapat bahwa penyebab perkawinan sheghar adalah "mahar kelewat besar."
"Makin parahnya kemiskinan, serta meningkatnya biaya perkawinan, memaksa sebagian keluarga melakukan perkawinan sheghar," ucap sosiolog tadi.
Motif
Menteri urusan Hak Asasi Manusia Huriya Mashhour sependapat bahwa tingginya mahar merupakan motif utama di balik perkawinan sheghar. Dia menegaskan bahwa keluarga-keluarga menilai cara tersebut "solusi bagi mereka yang tidak mampu mengatasi biaya perkawinan."
Dia menggarisbawahi dilema yang dihadapi para wanita dalam perkawinan demikian. "Wanita kehilangan hak untuk menerima suatu mahar, dan jika sejawatnya sampai diceraikan maka dia akan mendapati dirinya dalam situasi sama karena keluarga ambruk," papar Mashhour. Namun Mashhour juga menepiskan dugaan meluasnya perkawinan jenis itu, dengan mengatakan berbagai studi membuktikan bahwa praktek tersebut terjadi utamanya di daerah pedalaman.
"Persentase dua kali lipat di area pedesaan dikarenakan tradisi itu," ucapnya. Ahli hukum Islam Mohammed al-Omrani menegaskan bahwa perkawinan Sheghar tidak mengindahkan aturan Islam.
"Bila seorang istri dapat diceraikan hanya karena wanita lain diceraikan... Ini berarti perkawinan itu haram (dilarang)," tegas Al-Omrani.
5 Jenderal Legendaris Sahabat Jurnalis
Di sebuah negara yang masih ada tradisi perkawinan anak-anak, perkawinan imbal balik itu juga meluas, khususnya di daerah pedalaman negara Semenanjung Arab tersebut, kendati kerap terjadi berbagai akibat destruktif dari praktik itu.
Para ulama Muslim telah memutuskan bahwa perkawinan Sheghar adalah tidak Islami, namun banyak orang dalam masyarakat konservatif Yaman beranggapan cara tersebut merekat hubungan keluarga, dan menjaga warisan tetap ada dalam keluarga karena kebanyakan perkawinan demikian terjadi antara sanak keluarga.
Penyesalan
Ahmed Abdullah, 70, menggambarkan perkawinan barter tersebut sebagai "perkawinan penyesalan" saat dia menuturkan cerita pilu putranya yang tidak kuasa mengatasi dampak kehilangan istrinya karena perceraian saudara perempuannya.
"Saya setuju dengan sahabat karib saya untuk mengatur suatu perkawinan bagi dua putra kami dengan cara ini ... Setelah dua tahun, putri saya dan suaminya ternyata tidak dapat akur," sehingga membuatnya kembali ke kediaman orangtuanya, ujar Abdullah.
"Begitu dia pulang, istri putra saya meninggalkan rumah putra saya. Yang jadi problema adalah putra saya itu betul-betul menyintai istrinya," ungkap pria tadi, yang menambahkan bahwa pada akhirnya kedua pasangan itu dipaksa bercerai.
"Putra saya kehilangan pikirannya dikarenakan tekanan kami padanya agar menceraikan istrinya," papar Abdullah.
Salah satu alasan yang menyebabkan luasnya perkawinan imbal balik itu di daerah pedesaan adalah kurangnya pendidikan bagi wanita yang masih terlalu lemah untuk menolak kemauan keluarga mereka yang umumnya didominasi pria.
Sebagian besar wanita di Yaman tidak punya opsi membangkang keluarga karena sikap itu bisa dianggap sebagai menantang seluruh klan, yang jauh lebih peduli untuk menjaga kehormatannya daripada kehidupan seorang wanita yang berada di ambang kehilangan keluarganya.
Contoh lain perkawinan tadi adalah Ali dan Nasser yang saling menikahi adik perempuan mereka. Setelah beberapa tahun, Ali menceraikan istrinya. Tapi ketika adik perempuannya menolak meninggalkan Nassser, keluarga dan para sepupunya menyerbu rumah wanita itu dan memaksa Nasser menceraikannya.
Balas
Pertikaian itu memicu bentrokan bersenjata antara kedua keluarga yang berakibat kematian saudara ipar Nasser.
"Balas dendam belum selesai antara kedua keluarga itu," ucap Saeed al-Waeli, seorang famili korban. Perkawinan sheghar tak cocok bagi orang miskin dan tuna aksara di Yaman. Sarjana-sarjana juga bisa terlibat di dalamnya.
Mohammed Saeed, 35, yang menyandang gelar sarjana, mengatakan bahwa walaupun dia sadar betul dengan berbagai bahaya dari perkawinan imbal balik itu, dirinya dipaksa memasuki sebuah perkawinan demikian oleh keluarganya agar kakak perempuannya dapat berumahtangga.
"Orangtua saya menyadari bahwa mereka dapat menembak dua ekor burung dengan satu peluru," tutur Saeed.
"Saya menderita bermacam problema tak kunjung akhir selama tujuh tahun, dan begitu juga kakak saya. Ketika saya tak kuasa lagi untuk menahankannya, saya menceraikan istri saya. Dia membawa putra dan putri saya. Saya sudah tak melihat mereka dalam empat tahun ini," ucapnya.
"Kakak saya juga kembali ke rumah orangtua bersama tiga anaknya," imbuh Saeed. Praktik perkawinan itu disorot sosiolog Amani Maysari yang berpendapat bahwa penyebab perkawinan sheghar adalah "mahar kelewat besar."
"Makin parahnya kemiskinan, serta meningkatnya biaya perkawinan, memaksa sebagian keluarga melakukan perkawinan sheghar," ucap sosiolog tadi.
Motif
Menteri urusan Hak Asasi Manusia Huriya Mashhour sependapat bahwa tingginya mahar merupakan motif utama di balik perkawinan sheghar. Dia menegaskan bahwa keluarga-keluarga menilai cara tersebut "solusi bagi mereka yang tidak mampu mengatasi biaya perkawinan."
Dia menggarisbawahi dilema yang dihadapi para wanita dalam perkawinan demikian. "Wanita kehilangan hak untuk menerima suatu mahar, dan jika sejawatnya sampai diceraikan maka dia akan mendapati dirinya dalam situasi sama karena keluarga ambruk," papar Mashhour. Namun Mashhour juga menepiskan dugaan meluasnya perkawinan jenis itu, dengan mengatakan berbagai studi membuktikan bahwa praktek tersebut terjadi utamanya di daerah pedalaman.
"Persentase dua kali lipat di area pedesaan dikarenakan tradisi itu," ucapnya. Ahli hukum Islam Mohammed al-Omrani menegaskan bahwa perkawinan Sheghar tidak mengindahkan aturan Islam.
"Bila seorang istri dapat diceraikan hanya karena wanita lain diceraikan... Ini berarti perkawinan itu haram (dilarang)," tegas Al-Omrani.
Baca juga artikel menarik lainnya:
5 Jenderal Legendaris Sahabat Jurnalis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar