Dalam sebuah perang, banyak hal yang tak dinyana terjadi. Salah satunya kisah seorang perempuan Suriah yang merupakan sniper dan menjadi momok menakutkan bagi pasukan yang setia kepada Bashar al-Assad.
Penembak jitu itu berusia 36 tahun, dan di kalangan pasukan pemberontak dikenal hanya dengan nama Guevara, mengambil nama tokoh revolusioner asal Argentina, Ernestio "Che" Guevara.
Di masa damai, Guevara adalah seorang guru bahasa Inggris yang duduk di dalam sebuah kelas di Aleppo, Suriah.
Namun, kini dengan mengenakan jaket, celana panjang berwarna hijau, tetap mengenakan jilbab, Guevara duduk di reruntuhan bangunan, menunggu munculnya pasukan pemerintah, sebelum dia melepaskan tembakan.
Mengapa seorang perempuan lembut yang pernah menjadi guru itu kini berubah 180 derajat menjadi seorang pejuang yang siap membunuh kapan saja?
Rupanya Guevara—yang enggan menyebut nama aslinya—termotivasi kematian kedua anaknya beberapa bulan lalu.
Kedua anaknya itu, seorang putri berusia 10 tahun dan putra berusia 7 tahun, tewas saat serangan udara pasukan pemerintah menghantam kediaman keluarga Guevara.
Kehilangan kedua buah hatinya membuat Guevara menyimpan bara amarah. Kini, dia merasa lega setiap kali peluru yang dilepaskannya membunuh seorang prajurit pasukan pemerintah.
"Pekerjaan" barunya ini, kata Guevara, membutuhkan kesabaran, kecepatan, dan kecerdasan. Tak jarang dia harus duduk berjam-jam menunggu jalanan kosong dari warga sipil yang kemudian digantikan pasukan pemerintah.
Jika tiba saatnya harus menembak, maka Guevara mengatakan dia memiliki target membunuh empat atau lima anggota pasukan Pemerintah Suriah dalam sehari.
"Menembak mereka membuat saya merasa lega. Setiap kali saya bisa mengenai satu tentara, saya selalu berteriak 'yes!'," katanya.
Darah Palestina
Memiliki darah Palestina, si penembak jitu itu kepada harian Telegraph mengatakan, perkenalan pertamanya dengan senjata adalah di kamp pelatihan militer di Lebanon yang dikelola kelompok militan Palestina, Hamas.
Bahkan jauh sebelum pemberontakan terhadap rezim Bashar al-Assad pecah pada musim semi 2011, Guevara mengatakan dia sudah menentang Assad dengan menerbitkan surat kabar oposisi saat kuliah di Universitas Aleppo.
Dia bahkan menjadi anggota organisasi politik bawah tanah untuk warga Palestina yang terus merencanakan penggulingan rezim Assad.
Pernikahan pertamanya kandas karena suaminya bukanlah seorang revolusioner seperti dirinya. Saat sang suami mencegahnya berjuang, Guevara bahkan mengancam akan meninggalkan suaminya dan menikahi komandan pemberontak.
Meski kini menjadi seorang sniper, Guevara tetaplah seorang perempuan. Dia mengatakan kerap terjaga di tengah malam dan menangisi kematian kedua buah hatinya dan semua kekerasan yang telah dia saksikan.
Satu-satunya kebahagiaannya kini adalah pekerjaan berbahaya yang dilakukannya sekarang.
"Saya suka bertempur. Saat saya melihat satu teman dalam divisi saya tewas, maka saya harus membalaskan dendamnya," ujar Guevara.
Penembak jitu itu berusia 36 tahun, dan di kalangan pasukan pemberontak dikenal hanya dengan nama Guevara, mengambil nama tokoh revolusioner asal Argentina, Ernestio "Che" Guevara.
Di masa damai, Guevara adalah seorang guru bahasa Inggris yang duduk di dalam sebuah kelas di Aleppo, Suriah.
Namun, kini dengan mengenakan jaket, celana panjang berwarna hijau, tetap mengenakan jilbab, Guevara duduk di reruntuhan bangunan, menunggu munculnya pasukan pemerintah, sebelum dia melepaskan tembakan.
Mengapa seorang perempuan lembut yang pernah menjadi guru itu kini berubah 180 derajat menjadi seorang pejuang yang siap membunuh kapan saja?
Rupanya Guevara—yang enggan menyebut nama aslinya—termotivasi kematian kedua anaknya beberapa bulan lalu.
Kedua anaknya itu, seorang putri berusia 10 tahun dan putra berusia 7 tahun, tewas saat serangan udara pasukan pemerintah menghantam kediaman keluarga Guevara.
Kehilangan kedua buah hatinya membuat Guevara menyimpan bara amarah. Kini, dia merasa lega setiap kali peluru yang dilepaskannya membunuh seorang prajurit pasukan pemerintah.
"Pekerjaan" barunya ini, kata Guevara, membutuhkan kesabaran, kecepatan, dan kecerdasan. Tak jarang dia harus duduk berjam-jam menunggu jalanan kosong dari warga sipil yang kemudian digantikan pasukan pemerintah.
Jika tiba saatnya harus menembak, maka Guevara mengatakan dia memiliki target membunuh empat atau lima anggota pasukan Pemerintah Suriah dalam sehari.
"Menembak mereka membuat saya merasa lega. Setiap kali saya bisa mengenai satu tentara, saya selalu berteriak 'yes!'," katanya.
Darah Palestina
Memiliki darah Palestina, si penembak jitu itu kepada harian Telegraph mengatakan, perkenalan pertamanya dengan senjata adalah di kamp pelatihan militer di Lebanon yang dikelola kelompok militan Palestina, Hamas.
Bahkan jauh sebelum pemberontakan terhadap rezim Bashar al-Assad pecah pada musim semi 2011, Guevara mengatakan dia sudah menentang Assad dengan menerbitkan surat kabar oposisi saat kuliah di Universitas Aleppo.
Dia bahkan menjadi anggota organisasi politik bawah tanah untuk warga Palestina yang terus merencanakan penggulingan rezim Assad.
Pernikahan pertamanya kandas karena suaminya bukanlah seorang revolusioner seperti dirinya. Saat sang suami mencegahnya berjuang, Guevara bahkan mengancam akan meninggalkan suaminya dan menikahi komandan pemberontak.
Meski kini menjadi seorang sniper, Guevara tetaplah seorang perempuan. Dia mengatakan kerap terjaga di tengah malam dan menangisi kematian kedua buah hatinya dan semua kekerasan yang telah dia saksikan.
Satu-satunya kebahagiaannya kini adalah pekerjaan berbahaya yang dilakukannya sekarang.
"Saya suka bertempur. Saat saya melihat satu teman dalam divisi saya tewas, maka saya harus membalaskan dendamnya," ujar Guevara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar