Hal itu tertuang dalam panduan milik agensi tersebut yang diungkap belakangan ini, seperti dilaporkan oleh ZDNet.
Meski dilakukan tanpa surat perintah, menurut FBI, pengaksesan e-mail tidak melanggar Amandemen Keempat Konstitusi AS yang melindungi warga negara dari "penggeledahan dan pemeriksaan tak beralasan".
Pandangan yang sama juga berlaku bagi penuntut dan penyidik dari Departemen Kehakiman AS yang merasa tak perlu dibekali surat perintah dari pengadilan untuk mengakses data sensitif dan pribadi milik warga.
Dalam hal ini, sebuah surat panggilan (subpoena) dari jaksa federal sudah cukup untuk "mengakses seluruh rekaman dari penyedia jasa internet (ISP)".
Biasanya, surat perintah penggeledahan yang ditandatangani hakim diperlukan agar sebuah perusahaan mau menyerahkan seluruh data pengguna, sementara surat panggilan hanya akan memberi akses ke "data komunikasi" seperti siapa lawan bicara, kapan sebuah percakapan terjadi, dan dari lokasi atau komputer mana hal tersebut dilakukan berdasarkan alamat IP.
Laporan ini mengemuka hanya beberapa minggu setelah permintaan FBI untuk memata-matai terduga hacker lewat spyware ditolak oleh pengadilan. FBI dikritik oleh hakim karena tidak menerangkan kenapa metode lain tak bisa dipakai dengan sama efektifnya.
Perusahaan-perusahaan teknologi memiliki pendirian sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Google, misalnya, mensyaratkan surat perintah penggeledahan sebelum mau membuka "konten e-mail" dan data-data pribadi lain milik pengguna.
Bersama Microsoft, Google menerbitkan "laporan transparansi" yang turut menerangkan berapa banyak permintaan akses data pribadi pengguna diajukan oleh otoritas-otoritas pemerintah di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.
Perusahaan lain, seperti Twitter, diketahui getol mempertahankan data pribadi penggunanya, bahkan ketika diminta melalui surat panggilan atau surat perintah penggeledahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar