Tindakan Letkol Robert Simanjuntak menyiksa wartawan saat liputan
pesawat Hawk 200 yang jatuh, mendapat kecaman di mana-mana. Panglima TNI
Laksamana Agus Suhartono berkali-kali menyampaikan permintaan maaf.
Laksamana Agus juga berjanji akan mengusut tuntas kasus ini.
Sejatinya, wartawan dan TNI memang bagian tak terpisahkan. Sejak perang kemerdekaan, wartawan mendampingi TNI dalam berbagai front. Karena itu pula berita kemerdekaan Republik Indonesia bisa tersiar di seluruh dunia.
Wartawan mendampingi TNI saat negara yang masih muda dilanda pemberontakan. Saat operasi lintas udara di Timor Timur dan operasi di Aceh.
Beberapa jenderal TNI pun dikenal sangat dekat dengan wartawan. Mereka sadar, TNI dan wartawan adalah sahabat.
Sejatinya, wartawan dan TNI memang bagian tak terpisahkan. Sejak perang kemerdekaan, wartawan mendampingi TNI dalam berbagai front. Karena itu pula berita kemerdekaan Republik Indonesia bisa tersiar di seluruh dunia.
Wartawan mendampingi TNI saat negara yang masih muda dilanda pemberontakan. Saat operasi lintas udara di Timor Timur dan operasi di Aceh.
Beberapa jenderal TNI pun dikenal sangat dekat dengan wartawan. Mereka sadar, TNI dan wartawan adalah sahabat.
1. Jenderal Ahmad Yani
Pahlawan
Revolusi Jenderal Ahmad Yani dikenal dekat dengan wartawan. Semenjak
masih berpangkat Kolonel, Yani sudah bergaul akrab dengan wartawan.
Bulan Maret 1958, Yani memimpin operasi 17 Agustus untuk merebut
Sumatera Barat dari pemberontak PRRI.
Yani mengajak beberapa wartawan untuk meliput operasi militer itu. Dia sempat khawatir saat seorang wartawan tanpa pengawalan masuk ke daerah yang masih belum dikuasai TNI. Istimewanya lagi saat meliput, Yani menyamakan posisi wartawan dengan jabatan perwira menengah. Artinya wartawan mendapat hak sama seperti seorang Mayor.
Dalam memoarnya, wartawan senior TVRI Hendro Subroto yang meliput penggalian jenazah dari Lubang Buaya, sangat berduka cita mengetahui Yani menjadi salah satu korban G30S.
"Saya tidak dapat membayangkan bahwa bagaimana mungkin, Pak Yani yang selalu menyapa dan bersikap ramah terhadap wartawan gugur dalam keadaan begini," kata Hendro seperti tertulis dalam buku Hendro Subroto, Perjalanan Seorang Wartawan Perang terbitan Pustaka Sinar Harapan.
Yani mengajak beberapa wartawan untuk meliput operasi militer itu. Dia sempat khawatir saat seorang wartawan tanpa pengawalan masuk ke daerah yang masih belum dikuasai TNI. Istimewanya lagi saat meliput, Yani menyamakan posisi wartawan dengan jabatan perwira menengah. Artinya wartawan mendapat hak sama seperti seorang Mayor.
Dalam memoarnya, wartawan senior TVRI Hendro Subroto yang meliput penggalian jenazah dari Lubang Buaya, sangat berduka cita mengetahui Yani menjadi salah satu korban G30S.
"Saya tidak dapat membayangkan bahwa bagaimana mungkin, Pak Yani yang selalu menyapa dan bersikap ramah terhadap wartawan gugur dalam keadaan begini," kata Hendro seperti tertulis dalam buku Hendro Subroto, Perjalanan Seorang Wartawan Perang terbitan Pustaka Sinar Harapan.
2. Letjen Sarwo Edhie Wibowo
Semenjak
masih menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo, sangat dekat dengan wartawan. Sarwo Edhie tak segan
bertukar pikiran dengan para wartawan. Salah satunya adalah Ramelan,
wartawan senior Berita Yudha.
Sarwo pernah menujuk para wartawan dan berujar. "Jika saya berbuat kesalahan, mereka yang akan meluruskan saya," kata ayah Ani Yudhoyono ini.
Wartawan senior TVRI Hendro Subroto punya cerita khusus soal Sarwo Edhie. Hal ini ditulis dalam buku Hendro Subroto, Perjalanan Seorang Wartawan Perang terbitan Pustaka Sinar Harapan.
Ketika itu Hendro meliput pemberantasan PKI di kawasan Gunung Merapi, Jawa Tengah bersama RPKAD. Saat itu Sarwo melihat Hendro hanya membawa ransel. "Hen, mengapa kamu tidak membawa senjata?" tanya Sarwo.
Sarwo kemudian membuka sabuknya yang tertambat pistol makarov 9X18 mm, tiga magasen dan sebuah pisau komando. Dengan nada kebapakan dia berkata pada Hendro. "Kamu jangan sembrono. Pakai ini," kata Sarwo.
Hubungan Sarwo Edhie dengan wartawan terus berjalan baik. Hingga Sarwo menjadi Panglima Kodam Cendrawasih dan kemudian pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal.
Sarwo pernah menujuk para wartawan dan berujar. "Jika saya berbuat kesalahan, mereka yang akan meluruskan saya," kata ayah Ani Yudhoyono ini.
Wartawan senior TVRI Hendro Subroto punya cerita khusus soal Sarwo Edhie. Hal ini ditulis dalam buku Hendro Subroto, Perjalanan Seorang Wartawan Perang terbitan Pustaka Sinar Harapan.
Ketika itu Hendro meliput pemberantasan PKI di kawasan Gunung Merapi, Jawa Tengah bersama RPKAD. Saat itu Sarwo melihat Hendro hanya membawa ransel. "Hen, mengapa kamu tidak membawa senjata?" tanya Sarwo.
Sarwo kemudian membuka sabuknya yang tertambat pistol makarov 9X18 mm, tiga magasen dan sebuah pisau komando. Dengan nada kebapakan dia berkata pada Hendro. "Kamu jangan sembrono. Pakai ini," kata Sarwo.
Hubungan Sarwo Edhie dengan wartawan terus berjalan baik. Hingga Sarwo menjadi Panglima Kodam Cendrawasih dan kemudian pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal.
3. Mayjen KKO Ali Sadikin
Mayjen
KKO Ali Sadikin dekat dengan wartawan. Dia menganggap wartawan adalah
mitra yang bisa mengkoreksi penyimpangan di masyarakat. Ketika menjabat
sebagai Gubernur DKI Jakarta, Bang Ali makin dekat dengan dunia pers dan
wartawan.
Jika ada berita buruk, Bang Ali langsung memanggil anak buahnya yang bersangkutan. Misal ada berita soal transportasi buruk. Bang Ali akan langsung memanggil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Sarapan Bang Ali sehari-hari adalah membaca surat kabar dan membuat kliping koran soal berita seputar dirinya dan pemerintahan DKI Jakarta.
Wartawan pun menyukai gaya Bang Ali yang keras dan blak-blakkan. istilah wartawan, pasti 'nge-lead'.
Jika ada berita buruk, Bang Ali langsung memanggil anak buahnya yang bersangkutan. Misal ada berita soal transportasi buruk. Bang Ali akan langsung memanggil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Sarapan Bang Ali sehari-hari adalah membaca surat kabar dan membuat kliping koran soal berita seputar dirinya dan pemerintahan DKI Jakarta.
Wartawan pun menyukai gaya Bang Ali yang keras dan blak-blakkan. istilah wartawan, pasti 'nge-lead'.
4. Jenderal Soedirman
Jenderal
Soedirman memimpin perang gerilya dari belantara hutan saat Belanda
melancarakan agresi militer ke II tanggal 19 Desember 1948. Saat perang
gerilya berakhir tahun 1949, Presiden Soekarno memerintahkan Letkol
Seharto menjemput Jenderal Soedirman.
Wartawan legendaris Rosihan Anwar dan fotografer Frans Mendur juga ikut menjemput Soedirman. Bertiga dengan Soeharto, mereka naik sepeda dan berjalan kaki puluhan kilometer untuk menemui Soedirman di persembunyannya.
"Saudara Rosihan adalah wartawan pertama yang menemui saya setelah gerilya," sambut Soedirman.
Ada cerita lain juga soal Soedirman dan media. Setelah agresi militer Belanda II, Soedirman dan Soekarno tidak akur. Ketika kembali ke Yogya, untuk mencairkan suasana, Soekarno memeluk Soedirman. Tapi tak ada fotografer yang mengabadikan peristiwa itu.
Maka untuk kebutuhan media dan perjuangan, Pak Dirman menurut saja dikerjai. Dia pun kembali berpelukan dengan Soekarno.
5. Komodor Udara Adisutjipto
Wartawan legendaris Rosihan Anwar dan fotografer Frans Mendur juga ikut menjemput Soedirman. Bertiga dengan Soeharto, mereka naik sepeda dan berjalan kaki puluhan kilometer untuk menemui Soedirman di persembunyannya.
"Saudara Rosihan adalah wartawan pertama yang menemui saya setelah gerilya," sambut Soedirman.
Ada cerita lain juga soal Soedirman dan media. Setelah agresi militer Belanda II, Soedirman dan Soekarno tidak akur. Ketika kembali ke Yogya, untuk mencairkan suasana, Soekarno memeluk Soedirman. Tapi tak ada fotografer yang mengabadikan peristiwa itu.
Maka untuk kebutuhan media dan perjuangan, Pak Dirman menurut saja dikerjai. Dia pun kembali berpelukan dengan Soekarno.
5. Komodor Udara Adisutjipto
Komodor
Udara Ignatius Adisutjipto dikenal dekat dengan wartawan. Sebuah foto
tua milik TNI AU melukiskan pendiri TNI AU dengan wartawan.
Ketika itu TNI AU dan wartawan sama-sama mengobarkan semangat rakyat membela kemerdekaan. TNI AU terbang mengelilingi Jawa dengan pesawat bercat merah putih.
Tanggal 9 November 1945 Harian Umum Kedaulatan Rakyat menulis soal pembukaan sekolah penerbang di Yogya. Inilah awal dari sekolah penerbang TNI AU.
"Dioetarakan dengan pimpinan Hadisoetjipto akan diadakan pelajaran terbang di Jogjakarta dan Malang," demikian kutipan itu. (livakara.com)
Ketika itu TNI AU dan wartawan sama-sama mengobarkan semangat rakyat membela kemerdekaan. TNI AU terbang mengelilingi Jawa dengan pesawat bercat merah putih.
Tanggal 9 November 1945 Harian Umum Kedaulatan Rakyat menulis soal pembukaan sekolah penerbang di Yogya. Inilah awal dari sekolah penerbang TNI AU.
"Dioetarakan dengan pimpinan Hadisoetjipto akan diadakan pelajaran terbang di Jogjakarta dan Malang," demikian kutipan itu. (livakara.com)
Baca juga artikel
menarik lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar