Khalid bin Walid, jenderal perang Islam berjuluk "Saifullah Al-Maslul
(pedang Allah yang terhunus)". Reputasinya sebagai seorang jenderal
ditakuti dan dikagumi lawan-lawannya. Namun selain kehebatannya sebagai
seorang panglima perang, kaum muslimin juga banyak membicarakan
hubungannya yang buruk dengan Umar bin Khattab. Krisis kepercayaan
dengan sang sepupu berakhir dengan diberhentikannya Khalid Bin Walid
dari kemiliteran, hal yang membuat hatinya menjadi galau.
"Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur." - Khalid bin Walid menjelang kematiannya.
Inilah Biografi Khalid Bin Walid - Pedang Allah
Khalid bin Walid (592–642), lahir sekitar tahun 592, ayahnya
bernama Walid bin al-Mughira seorang kepala suku dari banu Makhzum
(bangsa Quraisy). Di saat itu banu Makhzum bertanggung jawab terhadap
masalah perang, mengurus persenjataan dan tenaga tempur. Sesaat setelah
dilahirkan, Khalid dikirim ke suku Badui di gurun di mana udaranya masih
bersih, segar dan belum terpolusi. di usia lima atau 6 tahun, ia
kembali ke Mekah. Di masa kanak-kanak tersebut Khalid juga pernah
terserang cacar ringan yang mengakibatkan timbulnya bekas cacar (bopeng)
dipipi kirinya.
Khalid bin Walid dan Umar bin Khattab adalah saudara sepupu dan memiliki
kemiripan wajah. Keduanya sangat tinggi, Khalid memiliki tubuh yang
kuat, bahu yang lebar, badan yang kekar juga berjenggot penuh dan tebal
di wajahnya.
Khalid seorang juara gulat, suatu ketika ia pernah adu gulat dengan Umar
bin Khattab. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Ini mungkin awal dari
perseteruan dua saudara sepupu tersebut. Khalid juga jago berkuda,
dimasa kecil ia juga berlatih menggunakan senjata seperti panah, tombak,
dan pedang. Tombak adalah senjata favoritnya.
Di Era Nabi Muhammad saw (610–632)
Pertempuran Melawan Kaum Muslimin
Tidak banyak diketahui kisah Khalid bin Walid di masa-masa awal nabi
Muhammad saw. Ayah Khalid dikenal memusuhi Islam. Setelah periode hijrah
dari Mekah ke Madinah, maka pertempuran antara kaum muslimin dgn kaum
kafir quraisy pun dimulai. Khalid bin Walid tidak turut serta dalam
perang Badar, peperangan pertama antara kaum muslimin dengan kafir
quraisy. Dalam perang ini saudara Khalid, Walid bin Walid tertangkap dan
ditawan. Kemudian Khalid bersama sang kakak pergi ke Madinah untuk
menembus Walid. Namun segera setelah ditembus, dalam perjalanan ke
Mekah, Walid melarikan diri, kembali ke Madinah dan masuk Islam.
Khalid menyerang balik pasukan muslimin |
Kepemimpinan Khalid berperan besar untuk memastikan kemenangan kaum
kafir quraisy dalam perang Uhud (625 M). Tahun 627 M terjadi Pertempuran
Khandaq, ini merupakan peperangan terakhir Khalid dengan kaum Muslimin.
Masuk Islam
Saat perjanjian perdamaian (Perjanjian Hudaibiyyah, Maret 628 M)
berlangsung antara kaum muslimin dan kafir quraisy, sejarah mencatat
bahwa nabi Muhammad berkata kepada Walid (saudara Khalid), "Seseorang seperti Khalid, pasti akan tertarik pada Islam".
Walid kemudian mengirim surat kepada Khalid, membujuknya masuk Islam.
Khalid yang sebenarnya tidak terlalu mengidolakan berhala-berhala Ka'bah
kemudian mengajak bicara Ikrimah bin Abu-Jahal - teman semasa kecilnya -
yang menentang niatnya untuk masuk Islam.
Khalid kemudian diancam oleh Abu Sufyan yang hendak menyerangnya dengan penuh amarah, namun dihalangi oleh Ikrimah. "Sabar,
Wahai Abu Sufyan, kemarahan Anda mungkin juga membawa saya untuk
bergabung dengan Muhammad. Khalid bebas untuk mengikuti agama apa pun ia
pilih". Khalid sendiri membalas Abu Sufyan dengan menjawab bernada keras, "Demi Allah orang suka atau tidak, sungguh dia benar."
Bulan May 629 M, Khalid menuju Madinah dan bertemu dengan Amru bin Ash
dan Uthman bin Talha yang juga menuju Madinah untuk masuk Islam. Mereka
tiba di Madinah pada 31 May 629 serta segera menuju rumah nabi Muhammad
saw. Khalid kemudian diterima oleh sang kakak Walid bin Walid yang lebih
dahulu masuk Islam.
Pertempuran Bersama Kaum Muslimin Di Era Nabi Muhammad saw
Tiga bulan setelah kedatangan Khalid di Madinah, nabi Muhammad saw
mengirim utusan kepada penguasa Ghassanid Suriah, pengikut kekaisaran
Romawi Bizantium, dengan surat mengundang dia untuk masuk Islam. Ketika
melewati Mu'tah, utusan ini dicegat dan dibunuh oleh seorang kepala suku
lokal Ghassanid dengan nama Shurahbil bin Amr. Secara tradisi utusan
diplomatik memiliki kekebalan dan tidak boleh dibunuh. Kabar ini membuat
Madinah marah.
Sebuah ekspedisi segera disiapkan untuk mengambil tindakan hukuman
terhadap Ghassanid. Rasulullah lantas menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai
panglima perang, bila Zaid gugur maka Ja'far bin Abi Thalib yang
menggantikannya, dan bila Ja'far gugur maka Abdullah bin Rawahah akan
menggantikannya. Bila ketiga panglima perang tersebut gugur maka
panglima perang selanjutnya dipilih oleh pasukan muslimin.
Ketiga panglima perang tersebut pun akhirnya gugur syahid. Pasukan
muslimin pun kemudian memilih Khalid Bin Walid sebagai panglima perang.
Khalid kemudian mengatur strategi bagaimana 3000 pasukan muslimin
selamat dari pembantaian 100.000 (200.000) pasukan gabungan Romawi
Bizantium dan Ghassanid Arab dalam peristiwa yang dikenal sebagai
Pertempuran Mu'tah.
Sepanjang malam Khalid mengatur pasukannya menjadi beberapa pasukan
dibelakang pasukan utama. Pagi harinya menjelang pertempuran pasukan
tersebut bergerak maju seakan-akan mereka adalah pasukan bala bantuan.
Romawi pun merasa gentar mengira pasukan muslimin mendapatkan pasukan
tambahan dalam jumlah besar.
Saat itu sepanjang hari Khalid entah bagaimana tetap bertahan dan tidak
menyerang. Malam harinya Khalid memerintahkan pasukannya untuk mundur
dan kembali ke Madinah. Namun Romawi tidak mengejar karena khawatir ini
merupakan jebakan.
Dalam Pertempuran Mu'tah ini Khalid kehilangan sembilan pedangnya. Dan
setelah pertempuran ini, Khalid diberi gelar Pedang Allah oleh
Rasulullah saw.
Pertempuran Selanjutnya
Setahun kemudian pada 630 M kaum muslimin maju dari Madinah untuk
membebaskan Mekah. Dalam Pembebasan Mekah ini, Khalid memimpin salah
satu dari empat pasukan muslim yang bergerak dari empat arah yang
berbeda mengepung Mekah. Dan hanya pasukan Khalid yang sempat mendapat
perlawanan dari pasukan kavaleri quraisy yang menolak menyerah. Di tahun
itu juga Khalid terlibat dalam Pertempuran Hunain dan pengepungan
Tha'if.
Khalid juga terlibat dalam Pertempuran Tabuk yang dipimpin langsung nabi
Muhammad saw. Khalid lalu dikirim ke wilayah Daumat-ul-Jandal dimana ia
berjuang dan berhasil menangkap pangeran arab Daumat-ul-Jandal, memaksa
Daumat-ul-Jandal untuk menyerah.
Pada 631 M Khalid bin Walid turut serta berpartisipasi dalam haji
perpisahan Muhammad. Dalam peristiwa ini, ia mengumpulkan beberapa
rambut Muhammad, sebagai peninggalan suci, yang akan menginspirasinya
memenangkan pertempuran di masa mendatang.
Pertempuran Sebagai Panglima Perang Islam
Pada Januari 630 M, tahun ke 8 H, Khalid dikirim Rasullullah saw untuk menghancurkan berhala (jin) Uzza. Seorang perempuan yang diklaim sebagai bentuk asli Uzza sukses dibunuh oleh Khalid.
Khalid juga dikirim oleh Rasulullah saw untuk mengajak banu Jadhima
masuk Islam. namun Khalid melakukan tindakan kontroversial. Banu Jadhima
yang sudah masuk Islam, namun Khalid menahan mereka semua dan
mengeksekusi mati sebagian disebabkan permusuhan di masa lalu.
Rasulullah saw yang mendengar kabar ini lalu berdoa, "Allahumma ya Allah! aku bermohon kepada-Mu lepas tangan dari apa yang diperbuat oleh Khalid bin Walid itu." Rasul kemudian mengutus Ali bin Abi Thalib untuk mengurus diat (ganti rugi) terhadap banu Jadhima.
Era Khalifah Abu Bakar (632–634)
Pertempuran Riddah
Setelah kematian nabi Muhammad saw, banyak suku arab yang memberontak
dan menolak kekuasaan Madinah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk
mengatasi pemberontakan dan mereka yang murtad. Khalid adalah salah
satu penasehat utama Abu Bakar dan arsitek perencanaan strategis
Pertempuran Riddah. Dia diberi komando atas brigade muslimin terkuat
(terdiri dari pejuang pilihan muhajirin dan anshar) dan
dikirim ke pusat arab, daerah yang paling strategis dan sensitif di mana
suku pemberontak paling kuat tinggal. Daerah ini paling dekat dengan
kubu muslim Madinah dan merupakan ancaman terbesar ke kota.
Pertama-tama, Khalid berangkat ke suku-suku pemberontak Tayy dan Jalida,
dimana Adi bin Hatim - seorang sahabat terkemuka Nabi Muhammad, dan
seorang kepala suku dari suku Tayy - dikirim sebagai penengah. Kedua
suku kemudian setuju kembali bergabung ke kekhalifahan.
Perjuangan Khalid dalam Pertempuran Riddah |
Kontroversi Pembunuhan Malik bin Nuwairah
Setelah wilayah sekitar Madinah, ibukota Islam, direbut kembali, Khalid
memasuki Nejd, wilayah perkampungan dari suku banu Tamim. Banyak dari
anggota suku banu Tamim yang bergegas untuk mengunjungi Khalid dan
menyatakan tunduk kepada kekuasaan kekhalifahan. Tetapi suku banu Yarbu,
di bawah pimpinan Malik bin Nuwairah, menolak menyerah. Malik kemudian
memilih menghindari kontak langsung dengan pasukan Khalid dan
memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar, dan ia dan keluarganya
melarikan diri melintasi padang pasir.
Malik kemudian tertangkap oleh pasukan Khalid dan diserahkan kepada
Khalid. Lalu diminta pertanggungjawaban mengenai "kejahatannya". Malik
kemudian mengatakan, "sahabat anda mengatakan ini, sahabat anda mengatakan bahwa..."
merujuk kepada Abu Bakar, Khalid menyatakan bahwa Malik murtad dan
pemberontak, lalu memerintahkan agar dia dieksekusi. Setelah eksekusi
Malik, Khalid menikahi istrinya yang sangat cantik, Layla bint al-Minhal
(Umm Tamim) di malam harinya. Kasus Malik bin Nuwairah ini memang penuh
kontroversi karena Malik dan pengikutnya menyakini bahwa mereka masih
muslim.
Abu Qatadah al-Anshari, seorang sahabat Muhammad, yang mendampingi
Khalid sangat terkejut dengan perbuatan Khalid meng-eksekusi mati Malik
dan menikahi istrinya. Dengan keadaan marah, ia segera kembali ke
Madinah, dan melaporkan perbuatan Khalid kepada Khalifah Abu Bakar. Ia
juga bersumpah tidak akan mau lagi berada dibawah komando Khalid yang
telah membunuh seorang Muslim. Abu Bakar ternyata malah memuji Khalid
dan kemenangan-kemenangannya dan tidak senang dengan sikap Abu Qatadah.
Kemarahan Umar Terhadap Perbuatan Khalid
Kecewa dengan reaksi Abu Bakar, lantas Abu Qatadah mengadu kepada Umar
bin Khattab. Umar ternyata sependapat dengan Abu Qatadah bahwa Khalid
mengampangkan hukum Allah. Umar segera menemui Abu Bakar, meminta agar
Khalid dipecat. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya." ujar Umar. "Ah Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah. Jangan mengatakan yang bukan-bukan tentang Khalid." jawab Abu Bakar. Namun Umar bersikeras agar Khalid diberi sanksi. "Umar! Aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!" kata Abu Bakar kesal.
Abu Bakar akhirnya memanggil Khalid bin Walid ke Madinah untuk dimintai
pertanggungjawaban. Tatkala Khalid tiba dari medan perang, Umar lantas
menemuinya dan memarahinya "Anda musuh Allâh! Kau membunuh seorang
Muslim dan kemudian menikahi istrinya. Demi Allâh, sungguh akan kurajam
engkau dengan batu!"
Pertempuran Yamamah
Setelah insiden Malik, Abu Bakar mengirim Khalid untuk menghancurkan
ancaman paling berbahaya bagi negara Islam yang baru lahir. Yakni
Musailimah, pemimpin banu Hanifah yang mengaku sebagai nabi, dan sudah
mengalahkan dua pasukan muslimin. Pada minggu ketiga bulan Desember 632,
Khalid meraih kemenangan yang menentukan melawan Musailimah pada
Pertempuran Yamamah. Musailimah tewas dalam pertempuran itu. Setelah
peristiwa ini, hampir semua pemberontakan suku-suku berhasil ditumpas
dalam Pertempuran Riddah yang berlangsung selama sekitar setahun.
Invasi Ke Wilayah Kekaisaran Persia
Setelah masalah pemberontakan selesai, dan penduduk arab kembali bersatu
dalam panji Islam. Abu Bakar khawatir melihat wilayah Islam yang
terjepit diantara 2 kekaisaran besar (Persia dan Romawi Bizantium)
lantas memutuskan untuk menyerang Persia dan Romawi. Khalid kemudian
dikirim untuk memerangi Kekaisaran Persia dengan pasukan yang terdiri
dari 18.000 sukarelawan untuk menaklukkan provinsi terkaya kekaisaran
Persia, wilayah sungai Efrat Mesopotamia yang lebih rendah, (Irak).
Khalid dengan cepat meraih empat pertempuran berturut-turut. Pertempuran
Chains, berperang pada bulan April 633, Pertempuran Sungai, bertempur
di minggu ketiga bulan April 633, Pertempuran Walaja, berperang Mei 633
dan Pertempuran Ullais, bertempur di pertengahan bulan Mei 633. Pada
minggu terakhir bulan Mei 633, Al-Hira, ibu kota daerah Mesopotamia
rendah, jatuh ke tangan Khalid. Penduduk Mesopotamia rendah (Irak)
memilih berdamai dengan membayar jizyah (upeti) setiap tahun
serta setuju untuk memberikan informasi intelijen bagi pasukan muslimin.
Setelah beristirahat pasukannya, pada bulan Juni 633. Khalid mengepung
Anbar yang meskipun mendapat perlawanan sengit berhasil direbut pada
bulan Juli 633. Khalid kemudian bergerak ke arah selatan, dan menguasai
Tamr Ein ul pada minggu terakhir bulan Juli, 633.
Sekarang, hampir semua Mesopotamia rendah, (wilayah utara Efrat), berada
di bawah kendali Khalid. Sementara itu, Khalid menerima permintaan
permohonan bantuan dari Ayaz bin Ghanam di wilayah Daumat-ul-Jandal.
Agustus 633, Khalid pergi ke Daumat-ul-Jandal dan mengalahkan para
pemberontak dalam Pertempuran Daumat-ul-Jandal, menguasai benteng kota.
Dalam perjalanan kembali ke Mesopotamia, Khalid dikabarkan telah
melakukan perjalanan rahasia ke Mekah untuk berpartisipasi dalam haji.
Setelah kembali dari Arab, Khalid menerima informasi intelijen bahwa
adanya pasukan Persia dalam jumlah besar dibantu orang Kristen Arab.
Pasukan besar ini terbagi dalam empat kamp-kamp yang berbeda di wilayah
Efrat, di Hanafiz, Zumail, Saniyy dan terbesar berada di Muzayyah.
Khalid memilih menghindari pertempuran langsung melawan mereka semua.
Lantas memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan setiap kamp-kamp
dalam serangan malam hari terpisah dari tiga sisi. Dia membagi
pasukannya dalam tiga unit, dan menyerang pasukan Persia dalam serangan
terkoordinasi dari tiga arah yang berbeda pada malam hari, dimulai dari
Pertempuran Muzayyah, maka Pertempuran Saniyy, dan akhirnya Pertempuran
Zumail pada bulan November 633 Masehi.
Perjuangan Khalid dalam Pembebasan Irak |
Invasi Ke Wilayah Timur Kekaisaran Romawi Bizantium
Setelah sukses menaklukan provinsi Persia - Sassanid Irak, Khalifah Abu
Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menyerang Levant (Romawi Suriah).
Invasi ini akan dilaksanakan oleh empat pasukan dari empat arah berbeda.
Bizantium menanggapi ancaman ini dengan menempatkan pasukan-pasukannya
saling berhadapan dengan masing-masing pasukan muslimin. Bizantium juga
memusatkan pasukan mereka di Ajnadyn (suatu tempat di Palestina,
mungkin al-Lajjun). Langkah pasukan muslim tertahan di wilayah
perbatasan, disebabkan kekuatan besar di pihak Romawi Bizantium. Tentara
muslimin tidak lagi bebas untuk bergerak ke Suriah pusat atau utara.
Kekuatan pasukan muslimin tampaknya terlalu kecil melawan ancaman
pasukan Bizantium dalam jumlah besar, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah,
komandan Muslim bagian depan Suriah, meminta bala bantuan dari Khalifah.
Abu Bakar menanggapinya dengan mengirimkan bala bantuan yang dipimpin
oleh Khalid bin Walid, dari Irak. Khalid yang ingin melanjutkan
perjuangannya membebaskan Persia merasa kesal. Khalid curiga bahwa
perintah Khalifah karena saran Umar bin Khattab. "Ini pasti perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah - yakni Umar bin Khattab - dia dengki kepadaku karena aku yang membebaskan Irak." kata Khalid setelah membaca surat perintah Khalifah.
Ada dua rute menuju Suriah dari Irak, salah satunya melalui
Daumat-ul-Jandal (sekarang dikenal sebagai Skaka) dan yang lainnya
adalah melalui Mesopotamia melewati Ar-Raqqah. Karena pasukan Islam di
Suriah yang membutuhkan bantuan secepatnya, Khalid menghindari rute
konvensional ke Suriah melalui Daumat-ul-Jandal karena jauh dan akan
memerlukan beberapa minggu untuk mencapai Suriah. Dia juga menghindari
rute Mesopotamia karena kehadiran pasukan Romawi di Suriah utara dan
Mesopotamia. Berperang dengan mereka pada saat pasukan muslimin sedang
terkepung di Suriah, juga berarti akan terjadi pertempuran di dua front.
Khalid memilih rute yang tidak terlalu jauh ke Suriah, jalur yang tidak
biasa dilalui, yakni Gurun Suriah. Ia berjalan bersama pasukannya
melintasi gurun, di mana secara tradisi diperkirakan prajuritnya akan
berjalan selama dua hari tanpa setetes minum, sebelum mencapai sumber
air di oasis. Khalid memecahkan masalah kekurangan air dengan
menggunakan metode suku Badui. Unta yang diberi minum air yang banyak,
setelah unta tersebut sebelumnya dibuat sedemikian haus, sehingga akan
mendorong unta untuk minum banyak air pada satu waktu. Beberapa ekor
unta kemudian juga dibedah perutnya guna diambil kantong airnya untuk
memberi minum kuda-kuda. Cara ini terbukti efektif bagi pasukan muslim
saat melintasi gurun.
Rute Khalid menuju Suriah dan membebaskan Syam |
Dengan kabar kedatangan Khalid, Abu Ubaidah memerintahkan Syurahbil bin
Hasanah, salah satu dari empat komandan pasukan muslimin, untuk
menyerang kota Bosra. Pasukan Syurahbil bin Hasanah yang kalah jumlah,
ditertawakan oleh pasukan Romawi Byzantium dan Kristen Arab yang
berpikir akan mudah mengalahkannya, namun tanpa mereka duga pasukan
Khalid tiba dari gurun dan menyerang sisi belakang pasukan Romawi
Bizantium, menyelamatkan Shurhabil dari kekalahan. Pasukan musuh lantas
mundur ke benteng kota. Abu Ubaidah bergabung bersama Khalid bin Walid
di Bosra. Kemudian Khalid, sesuai instruksi dari khalifah, mengambil
alih komando tertinggi. Benteng Bosra menyerah pada pertengahan Juli
634, efektif mengakhiri dinasti Ghassanid. Setelah merebut Bosra, Khalid
memerintahkan semua pasukan untuk bergabung dengannya di Ajnadayn, di
mana mereka berjuang dalam pertempuran menentukan melawan Bizantium
tanggal 30 Juli 634. Sejarawan modern menganggap pertempuran ini adalah
pertempuran paling menentukan dalam mengakhiri kekuasaan Bizantium di
Suriah.
Akibat kekalahan di Pertempuran Ajnadayn, wilayah kiri Suriah rentan
terhadap tentara muslim. Sekarang, Khalid bin Walid memutuskan untuk
merebut Damaskus, benteng Bizantium. Di Damaskus, Thomas, anak angkat
Heraklius Kaisar Byzantium, yang bertanggung jawab atas pertahanan kota,
mendapat informasi intelijen, bahwa pasukan Khalid bergerak menuju
Damaskus, ia mempersiapkan pertahanan kota. Dia menulis kepada Kaisar
Heraklius, yang pada saat itu di Emesa, untuk mengirim bala bantuan.
Selain itu, Thomas, dalam rangka untuk menunda atau menghentikan
pergerakan pasukan Khalid mengirimkan pasukannya untuk bergerak maju.
Dua pasukannya dikirim. Yang pertama di Yaqusa pada pertengahan bulan
Agustus dan yang lainnya di Maraj as-Saffer pada tanggal 19 Agustus.
Sementara itu, sebelum bala bantuan Heraklius mencapai Damaskus, Khalid
mengisolasi Damaskus dengan menempatkan detasemen selatan di jalur
Palestina dan di utara di jalur Damaskus dengan Emesa, dan beberapa
detasemen lain yang lebih kecil pada rute menuju Damaskus. Bala bantuan
Heraklius dicegat dan diserang oleh pasukan Khalid di Pertempuran
Sanita-al-Uqab, 30 km dari Damaskus.
Khalid memimpin serangan dan menaklukkan Damaskus pada tanggal 18
September 634 setelah pengepungan selama 30 hari. Menurut beberapa
sumber, pengepungan ini berlangsung selama sekitar empat atau enam
bulan. Kaisar Heraklius yang menerima berita jatuhnya Damaskus,
berangkat ke Antiokhia dari Emesa. Kavaleri muslimin di bawah Khalid
menyerang pasukan Bizantium dari Damaskus yang juga menuju ke Antiokhia,
menyusul mereka menggunakan jalan pintas yang tidak diketahui, dalam
Pertempuran Maraj-al-Debaj, 150 kilometer sebelah utara Damaskus.
Abu Bakar meninggal selama pengepungan Damaskus dan Umar menjadi
khalifah baru. Khalid bin Walid kemudian dipecat sebagai panglima perang
pasukan muslimin oleh Umar bin Khattab. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin
al-Jarrah sebagai panglima baru dalam pasukan Islam di Suriah. Abu
Ubaidah mendapat surat pengangkatan dan pemberhentian Khalid selama
pengepungan, tetapi ia menunda pengumuman sampai kota itu ditaklukkan.
Era Khalifah Umar Bin Khattab (634–642)
Pada tanggal 22 Agustus 634, Abu Bakar meninggal, dan Umar bin Khattab
menggantikannya sebagai khalifah. Langkah pertama Umar adalah
membebastugaskan Khalid dari komando tertinggi pasukan muslimin dan
mengangkat Abu Ubaidah sebagai komandan baru pasukan muslimin. Hubungan
antara Khalid dengan Umar telah menegang sejak insiden Malik bin
Nuwairah. Akibatnya terjadi krisis kepercayaan antara keduanya. Sosok
Khalid yang tak terkalahkan, membuat Umar khawatir seandainya kaum
muslimin melupakan fakta bahwa semua kemenangan ini karena pertolongan
Allah.
Umar menjelaskan alasannya memecat Khalid mengatakan: "Saya tidak
memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena
semua orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya percaya kepadanya
dan hanya akan berkorban untuknya. Maka saya ingin mereka tahu bahwa
Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah."
Setelah dipecat sebagai panglima perang, Khalid masih melanjutkan
perjuangan pembebasan Syam dibawah pimpinan Abu Ubaidah. Abu Ubaidah
yang seorang pengagum Khalid, memberinya komando kavaleri dan
menjadikannya sebagai penasihat militer.
Peta rute Khalid bin Walid dalam Pembebasan Suriah utara |
Peta rute Khalid bin Walid dalam ekspedisi ke Armenia dan Anatolia |
Pemecatan Khalid bin Walid Dari Kemiliteran
Khalid bin Walid, sekarang, berada di puncak karir, ia terkenal dan
dicintai oleh anak buahnya, bagi kaum muslimin dia adalah seorang
pahlawan nasional, publik mengenalnya sebagai Saifullah - "Pedang
Allah". Ketenarannya tampak membuat risau Khalifah Umar, yang khawatir
bila Khalid dibiarkan terus semaunya suatu hari ia akan mencapai puncak
kesombongan dan kezalimannya, tak lagi peduli dengan perintah Khalifah.
Karena itu Umar membutuhkan alasan untuk mengambil tindakan hukum
terhadap Khalid. Dia menemukan satu alasan seperti ketika Khalid, selama
tinggal di Amid, Armenia, mandi dengan dengan zat tertentu yang
mengandung khamr. Umar dalam suratnya kepada Khalid menanyakan
perihal ini. Khalid menjawab, "Kami sudah menolaknya tetapi bahan
pembersih tak ada selain khamr."
Khalid juga diduga membayar Asy'as bin Qais, seorang penyair dan
pahlawan perang Persia untuk membacakan puisi yang memujinya dengan
bayaran sebesar 10.000 dirham yang diduga menggunakan kas negara. Karena
itu Umar menuduhnya menyalahgunakan keuangan negara. Umar kemudian
menulis surat kepada Abu Ubaidah supaya memanggil Khalid, dan
mengikatnya dengan serbannya serta melepaskan qalansuwah-nya
(topi kebesaran) sampai terungkap pemberiannya kepada Asy'as bin Qais.
Dari harta sendiri atau dari harta rampasan perang. Kalau dia mengatakan
itu adalah harta rampasan perang, maka itu adalah bukti
pengkhianatannya. Dan bila dia mengatakan itu dari hartanya sendiri maka
itu berarti pemborosan. Bagaimanapun juga ia mendapat perintah memecat
Khalid bin Walid.
Abu Ubaidah yang mengagumi Khalid dan menghormati Khalifah Umar pun
menjadi kebingungan. Bagaimanapun juga, Khalid akhirnya dipanggilnya
namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kurir Umar (yakni muadzin
Nabi, Bilal). Dihadapan pasukannya Khalid naik ke atas mimbar, lalu
Bilal pun menanyakan asal muasal hadiah pemberian kepada Asy'as bin
Qais. Khalid menyatakan bahwa itu semua dari hartanya sendiri. Kejadian
ini membuat Khalid marah dan merasa dipermalukan.
Kemudian Khalid pun mengunjungi Abu Ubaidah yang lantas memberitahunya
bahwa dirinya dipecat atas perintah Khalifah Umar bin Khattab, dan
diminta kembali ke Medinah. Di Medinah, dalam keadaan marah Khalid
menemui Umar dan menyatakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil
kepadanya. Umar lalu menenangkannya dengan berkata, "Apa yang telah
anda telah lakukan dan tidak ada seorang pun yang melakukan seperti yang
anda lakukan. Tapi ini bukan tentang orang yang melakukan, Allah-lah
yang melakukan...."
Kematian Khalid bin Walid
Kurang dari empat tahun setelah pemecatannya, Khalid meninggal dan
dikuburkan di 642 di Emesa, di mana ia tinggal sejak pemecatannya dari
kemilteran. Makamnya sekarang merupakan bagian dari sebuah masjid
bernama Masjid Khalid bin al-Walid. Nisan Khalid menggambarkan daftar
lebih dari 50 pertempuran yang ia menangi tanpa kekalahan (tidak
termasuk pertempuran kecil).
Masjid Khalid bin al-Walid |
"Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur."
Keluarga Khalid bin Walid
Ayah Khalid bernama Walid bin al-Mughira dan sang ibu bernama Lubabah
as-Saghirah. Walid dikabarkan memiliki banyak istri dan anak, namun
hanya beberapa saja yang tercatat dalam sejarah.
Putra Walid bin al-Mughira: (Saudara lelaki Khalid):
Hisham bin Walid
Walid bin Walid
Ammarah bin Walid
Abdul Shams bin Walid
Putri Walid bin al-Mughira: (Saudara perempuan Khalid):
Faktah binti Walid
Fatimah binti Walid
Najiyah binti al-Walid (masih diperselisihkan)
Tidak diketahui berapa banyak anak yang dimiliki Khalid, namun tiga putra dan seorang putri tercatat dalam sejarah.
Sulaiman bin Khalid
Abdulrehman bin Khalid
Muhajir bin Khalid
Sulaiman bin Khalid (putra tertua), tewas dalam penaklukan Mesir,
Muhajir bin Khalid meninggal dalam Pertempuran Siffin saat berperang di
sisi Khalifah Ali dan Abdulrehman bin Khalid menjadi Gubernur Emesa
saat pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan serta berpartisipasi dalam
Pertempuran Siffin sebagai salah satu jenderal dari Muawiyah I, ia juga
bagian dari pasukan Umayyah yang mengepung Konstantinopel pada tahun
664. Abdulreman kemudian akan ditunjuk sebagai penerus dari Khalifah
Muawiyah, tetapi menurut beberapa narasi (Kemungkinan besar dari Sumber
Syiah) ia diracun oleh Muawiyah, karena Muawiyah ingin membuat anaknya
Yazid I menjadi penggantinya. Garis keturunan laki-laki dari Khalid
diyakini telah berakhir dengan cucunya, Khalid bin Abdur-Rahman bin
Khalid.
Referensi:
Buku "Sejarah Hidup Muhammad" karya Muhammad Husain Haekal
Buku "Biografi Abu Bakar As-Siddiq" karya Muhammad Husain Haekal
Buku "Biografi Umar bin Khattab" karya Muhammad Husain Haekal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar