Jumat, 08 Juni 2012

Inilah Tips Menghadapi Stigma Negatif untuk Para Wanita Bercerai

img 
Stigma negatif kerap menempel pada seorang single mother. Tidak mampu mengurus suami dengan baik, mementingkan diri sendiri bahkan sering dicap terlalu menuntut suami sehingga jadi penyebab keretakan rumah tangga.

Dalam kasus perceraian, wanita memang seringkali dicap sebagai pihak yang lebih bersalah. Padahal, terjadinya keretakan rumah tangga datangnya dari kedua belah pihak.

Anggapan negatif tentang single mom pun pernah mampir ke diri Ainun Chomsun. Ibu satu anak ini bahkan sempat menghindari pertemuan keluarga besarnya karena enggan melayani berondongan pertanyaan seputar penyebab perceraian dirinya dengan sang mantan suami.

"Di awal saya menghindari, tidak mau bergaul di titik yang tidak aman (lingkungan dengan stigma negatif). Stigma itu bikin energi saya habis untuk melayani mereka. Setelah dua tahun baru saya keluar, sudah mulai mau bergaul lebih banyak," ujar Ainun, saat berbincang dengan wolipop di The Reading Room, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (6/6/2012).

Lalu, bagaimana Ainun menghadapi berbagai stigma negatif yang datang kepadanya? Menurut salah satu penulis buku 'The Single Moms' ini, seseorang tidak bisa mengontrol lingkungan agar berjalan seperti keinginannya. Untuk itu, manusia itu sendirilah yang harus pintar-pintar mengantisipasi keadaan yang mungkin terjadi.

"Lingkungan sesuatu yang tidak bisa dikontrol, tapi saya bisa memilih lingkungan mana yang bisa saya masuki," tegas Ainun.

Bagi para single mom di luar sana yang juga kerap mendapatkan stigma kurang enak didengar, Ainun menyarankan untuk tidak mempedulikannya. Tapi tentunya harus siap dengan keadaan terburuk yang mungkin terjadi.

"Kalau sudah siap hadapin saja. Kalau nggak siap, tinggalkan. Saya pernah dicap 'sepa'. Orang ngomong apa, saya tinggal. Risikonya saya dicap orang yang tidak ramah," tuturnya.

Senada dengan Ainun, Mia Amalia yang juga seorang single mom pun memilih untuk tidak menggubris perkataan orang yang mungkin hanya tahu masalah di permukaannya saja. Untungnya, wanita yang mengaku suka 'ndableg' ini selalu mendapat dukungan dari ibunya. Sang ibu menegaskan, selama dia tidak menyakiti dan mengambil hak orang lain, tidak perlu mendengarkan omongan negatif dari sekitar.

"Mereka boleh bilang hidup saya gagal, tapi lihat deh anak-anak saya. Nggak penting mau ngomong apa, tapi lihat saja siapa yang lebih baik. Kadang (saya bersikap) masa bodo, kadang aku balikin. Happy dan nggak terlalu ambil pusing apa kata orang," ujar Mia.

Tak hanya ibu, stigma negatif juga bisa dialami anak. Seringkali anak yang berasal dari keluarga broken home merasa malu atau tidak percaya diri karena adanya ejekan atau pandangan negatif dari teman sebaya. Apakah benar anak yang dibesarkan orangtua tunggal lebih rentan terkena masalah psikologis dibandingkan yang keluarganya utuh?

Jawabannya tidak selalu. Psikolog Efnie Indrianie, M.Psi menjelaskan, anak yang mendapatkan cukup perhatian dari kedua orangtuanya meskipun sudah bercerai, kecil kemungkinan menjadi depresi, malu atau pendiam di lingkungan sekolah maupun pertemanan.

"Rata-rata anak yang cukup menerima perhatian dari orangtuanya, biasanya tidak akan bermasalah dengan komentar-komentar yang menyudutkan status keluarganya. Karena kebutuhan akan figur orangtua sudah terpenuhi," tutur Efnie, saat dihubungi wolipop, Kamis (7/5/2012).

Dia menjelaskan, yang membuat emosi seorang anak tidak stabil, adalah jika salah satu orangtua menjelekkan figur orangtua lainnya. Ketika harus bercerai dan hidup berpisah, orangtua harus sebisa mungkin menanamkan pandangan-pandangan positif. Baik itu tentang figur ayah dan ibu, keluarga lainnya maupun meyakinkan si anak kalau dia tetap akan mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang sama seperti sebelum orangtuanya bercerai (http://wolipop.detik.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar